Merencanakan apa yang akan kita miliki sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, mencita-citakan akan jadi apa setelah lulus, atau memimpikan seorang pendamping hidup yang setia dan menyayangi. Rencana, cita-cita, dan mimpi lahir dari pikiran. Kalau mimpi itu tidak coba anda wujudkan dengan cara berbuat banyak, mustahil anda bisa mewujudkannya. Nah, sabar itu adalah cara anda mewujudkan impian dengan berbuat dan berbuat, lagi dan lagi.
Kita lihat ahli buat tembikar, seniman, ahli bedah, pandai besi, atau penulis, jumlah tangannya dua dan jumlah jarinya sepuluh, sama seperti kita. Tapi, keahlian mereka membuat mereka beda. Why? Karena dibalik kedua tangan dan sepuluh jarinya, ada perjuangan bertahun-tahun, pengorbanan, dan latihan yang tidak pernah kita lakukan.
Sebenarnya saya yakin, kita semua sudah ditakdirkan untuk menjadi apa yang baik. Kita semua adalah ahli dalam bidangnya masing-masing. Konon, menurut Viktor Frankl, keahlian bukannya kita ciptakan, melainkan kita gali. Semuanya sudah ada di dalam diri. Anda semua sudah ditakdirkan Allah untuk jadi ilmuwan, dokter, novelis hebat, presiden, penulis dunia yang ajarannya abadi, jadi seorang pemimpin revolusi nasional, atau pelukis. Semua takdir itu sudah tertulis di sono, di lembaran takdir yang disebut Lauh Mahfudz.
Pada catatan kaki lembaran itu seolah-olah tertulis “Kalau anak ini membuat catatan satu lembar sehari, dia akan menjadi penulis hebat dua puluh tahun ke depan,” atau “Kalau anak ini berlatih paling tidak enam belas jam seminggu, lima belas tahun ke depan dia akan menjadi pemain sepakbola terbaik nasional,” atau “Kalau anak ini rajin mengikuti latihan soal-soal Kimia, sepuluh tahun ke depan dia akan menjadi dokter terkenal,” atau “Semakin rajin anak ini baca buku Sosiologi, semakin besar kemungkinannya menjadi ilmuwan,” atau “Semakin sabar anak ini menjauhi pergaulan yang bukan-bukan, semakin cerahlah masa depannya,” dan sebagainya. Semua itu menyita tenaga, pikiran, waktu, dan tentu saja kesabaran anda.
Jadi penulis, pemain sepakbola nasional, dokter, ilmuwan, dan orang yang masa depannya cerah adalah takdir baik. Tapi anda, misalnya, tidak sabar. Anda malas untuk belajar, anda malas latihan—terutama kalau jadwal latihan fisik, anda hampir tidak pernah ikut latihan, anda muak dengan yang namanya buku-buku Sosiologi, anda malah sering bergabung dengan teman-teman mabuk anda si hamba setan. Tebak, catatan apa nanti yang tersisa di buku takdir anda?
“Wah, anak ini rupanya tidak mau jadi penulis hebat, dia malas sekali mencatat, bahkan pelajaran sekolahnya sering tidak tercatat,” atau “Jangankan pemain nasional, pemain tingkat RT pun masih kagak banget. Ah, dasar malas!” atau “Anak ini tidak bisa jadi dokter, dia tidak akan tahu apa-apa soal komposisi obat,” atau “Kayaknya tidak mungkin anak ini jadi ilmuwan. Muke lo jauh, Man!” atau “Lihat, semrawut sekali hidupnya, dia tidak punya masa depan karena kecanduan narkoba, ah!” Tuh kan, semua takdir anda yang baik menjadi buruk.
Kata Rasulullah, “Sabar adalah sebagian dari iman.” Menurut saya, sabar adalah sebuah prestasi dan yang namanya prestasi, tidak mudah untuk mencapainya. Tanpa kesabaran, kita tidak bisa melakukan apa-apa dengan baik. Lebih dari itu, kalau kita sudah tidak sabar, kita tidak ada!
Maka dari itu berusahalah untuk tetap bersabar meski itu pahit bagimu, namun kepahitan itu hanya bersifat sementara saja dan setelah itu kalian akan merasakan kemenangan yang besar, maka percalah apa yang telah di katakan oleh pepatah berakit-rakit kehulu berenang-rengang kemudian. Teruslah berusaha jangan mudah menyerah dan putus asa. Wallahu A'lam
Sumber : lampu islam
loading...