Akikah adalah untuk menebus tergadainya bayi atau anak, biasanya dilakukan ketika anak masih berusia bayi, namub bagaimana jika sampai dewasa belum di akikahi? bolehkah akikah untuk diri sendiri?
Secara etimologis, aqiqah berarti ‘memotong’. Sedangkan secara terminologi syar’i, aqiqah berarti menyembelih kambing karena kelahiran anak yang dilakukan pada hari ketujuh kelahirannya. Dalam hadits disebutkan, “Setiap bayi tergadai oleh aqiqahnya, disembelihkan (kambing) atasnya pada hari ketujuh, dicuckur rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Di hadits lainnya, “Ada aqiqah untuk bayi. Karena itu, tumpahkan darah untuknya (maksudnya sembelihlah hewan) dan hilangkan kotoran darinya.” (HR. Bukhari).
Hukum aqiqah menurut jumhur ulama adalah sunnah muakkad, yang dibebankan kepada wali dari anak yang dilahirkan yang berkewajiban menafkahinya. Dalil kesunnahannya adalah perbuatan (fi’liyah) Rasulullah Saw dan para sahabat yang melakukan aqiqah.
Para ulama ahli fiqh sepakat, waktu pelaksanaan aqiqah sesuai sunnah adalah pada hari ketujuh kelahirannya sebagaimana termaktub dalam nash hadits. Aqiqah tidak sah dilakukan sebelum bayi lahir, karena kelahiran bayi adalah adanya penyebab adanya perintah penyembelihan aqiqah.
Para ulama ahli fiqh berbeda pendapat terkait bila aqiqah dilakukan setelah lewat hari ketujuh kelahirannya. Setidaknya para ulama terbagi ke dalam tiga pendapat:
Pendapat pertama; aqiqah sangat terkait dengan hari ketujuh, tidak bisa dimajukan atau ditunda. Jika hari ketujuh terlewati, maka waktu penyembelihan pun lewat, dan gugurlah anjuran untuk mengaqiqahi anak. Pendapat ini di antaranya dikemukakan oleh Imam Malik.
Pendapat kedua; waktu pelaksanaan aqiqah bila tidak bisa pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila masih belum bisa, maka bisa dilaksanakan pada hari ke dua puluh satu. Sesuai dengan hadits Rasulullah Saw, “Aqiqah disembelih pada hari ke tujuh, atau hari ke empat belas, atau hari kedua puluh satu.” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi, hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani).
Dalam literatur madzhab Syafi’i, waktu kesunnahan itu lebih panjang lagi. Dr. Mushthafa al-Bugha, dkk dalam Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Madzhab al-Imam asy-Syafi’i menyatakan bahwa waktu kesunnahan tersebut berlanjut hingga sang bayi akil baligh. Kemudian, setelah akil baligh, maka tuntutan (mengaqiqahi) bagi sang ayah gugur.
Pendapat ketiga; lebih longgar lagi, waktu penyelenggaraan aqiqah bila tidak bisa dilakukan pada hari ketujuh, maka aqiqah bisa dilaksanakan kapan saja tanda ada batasan waktu. Hukum aqiqah tetap berlaku sampai kapan pun, karena aqiqah itulah yang membebaskan tergadainya bayi/anak seperti termaktup dalam nash hadits.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, makna ‘tergadainya bayi’ adalah: dia tidak bisa memberi syafaat kepada kedua orangtuanya pada hari kiamat jika dia belum diaqiqahi. Maka orangtua tetap bisa mengaqiqahi anaknya meski telah dewasa.
Pendapat ketiga inilah yang kiranya lebih disukai jiwa dan didukung oleh banyak ulama. Orang tua tetap bisa mengaqiqahi meski sang anak telah dewasa. Yang problematis dan menjadi pertanyaan adalah bagaimana bila sang anak yang telah dewasa mengaqiqahi dirinya sendiri?
Yusuf Al-Arifi dalam Aadabu Istiqbalil Maulud fil Islam menyatakan, jika si bayi, laki-laki atau perempuan, telah dewasa dan mencapai usia baligh, lalu tahu ayahnya dulu belum melakukan aqiqah terhadapnya, ia boleh menyelenggarakan aqiqah untuk dirinya, karena jika waktu aqiqah telah habis maka aqiqah boleh diselenggarakan kapan saja tanpa batasan waktu. Orang tersebut boleh menyelenggarakan aqiqah dirinya, sebab perintah untuk aqiqah masih tetap berlaku padanya dan agar dengan cara seperti itu maka dirinya dapat ditebus (dari gadai) seperti disebutkan di hadits. Pendapat inilah yang dipegang oleh Atha’, Al-Hasan, dan Asy-Syafi’iyah.
Sebagian lagi menyatakan, perintah menyelenggarakan aqiqah tetap berlaku, namun pihak yang menyelenggarakan ialah ayahnya. Ini pendapat yang dipegang oleh Al-Hanabilah.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar, Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Alhusaini menyatakan, dalam kitab Al-Uddah dan kitab Al-Hawi oleh Al-Mawardi, bahwa aqiqah sesudah hari ketujuh menjadi qadhak. Qaul yang dipilih hendaknya tidak melewati hari-hari si ibu. Jika melewati nifas, diharapkan hendaknya tidak melewati hari-hari menyusukan. Dan jika melewati hari-hari menyusukan, diharapkan hendaknya tidak melewati umur tujuh tahun. Kemudian jika terlewati umur tujuh tahun, hendaknya tidak melebihi usia baligh. Dan kalau sudah melewati usia baligh, gugurlah aqiqah itu dari orang lain, dan kini diberi pilihan menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri dalam masa tuanya. Dan Imam Rafi’i mengemukaan alasan bahwa Nabi Saw menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri sesudah diangkat menjadi Nabi. Yang lain juga mengemukaan alasan dengan itu juga, dan menambahkan bahwa kejadian itu sesudah diturunkannya suart Al-Baqarah.
Hadits ini lemah dipandang dari semua sanadnya. Dan Imam Syafi’i rahimahullah telah menentukan bahwa seseorang tidak boleh menyembelih aqiqah karena dirinya sendiri. Kata Imam Nawawi, “Aku telah melihat ketentuan (nash) itu dalam kitab Al-Buwaithi”.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam salah satu kitab masterpiece-nya Tuhfatul Mauduud bi Ahkamil Mauluud menyatakan, Al-Khallal menuliskan dalam Bab Dianjurkannya Seseorang yang ketika Kecil Belum Dilakukan Aqiqah Untuknya, Agar Melakukannya Sendiri Ketika Besar, kemudian dia menyebutkan pertanyaan-pertanyaan Isma’il bin Sa’id Asy-Syalinji, Ismail bertanya kepada Ahmad tentang seorang lelaki yang diberitahu bahwa dia belum diaqiqahi oleh orangtuanya, apakah ia perlu melakukannya untuk dirinya sendiri? Dia menjawab, “Itu adalah tanggung jawab ayahnya.”
Dari uraian di atas, kesimpulan yang dapat saya tarik sebagai berikut:
- Waktu pelaksanaan aqiqah yang memiliki keutamaan yang besar sesuai nash sunnah yang valid dan disepakati semua ulama adalah pada tujuh hari setelah kelahiran bayi.
- Bila hari ketujuh sejak kelahiran bayi terlewati, maka aqiqah bisa dilakukan di tujuh hari berikut, yakni pada hari ke empat belas. Bila masih juga belum bisa, maka di hari ke dua puluh satu sesuai dengan nash hadits lainnya.
- Bila masih juga terlewati, maka aqiqah bisa dilakukan tanpa batasan waktu, kapan pun aqiqah bisa dilaksanakan.
- Sebagian ulama, terutama madzhab Syafi’i, menyatakan gugurnya tuntutan mengaqiqahi setelah anak mencapai akil baligh, lalu membolehkan si anak mengaqiqahi dirinya sendiri.
- Sebagian ulama lainnya menyatakan tuntutan mengaqiqahi tetap menjadi tanggungjawab ayah meski anak telah dewasa.
Nah, sebagai langkah kompromi agar keluar dari perselisihan, sebaiknya sang ayah yang tetap menyelenggarakan aqiqah. Bila sang ayah tidak mampu, sedang si anak memiliki kemampuan, maka sang anak bisa memberikan (sedekah) biaya kepada ayahnya, sehingga penyelenggaraan aqiqah tetap yang melakukan adalah sang ayah. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat. (s)
loading...