Foto via sewarga.com
Sudah menjadi realita pada masa kini semakin banyak istri yang bekerja di luar rumah Tak ada pilihan lain dan harus terpaksa ikut mencari biaya hidup, apapun pasti diterjang demi keluarga. Memang bila sudah kepepet yang namanya kebutuhan susah untuk dicegah
Sudah menjadi realita pada masa kini semakin banyak istri yang bekerja di luar rumah Tak ada pilihan lain dan harus terpaksa ikut mencari biaya hidup, apapun pasti diterjang demi keluarga. Memang bila sudah kepepet yang namanya kebutuhan susah untuk dicegah
Tapi meski begitu anda harus mengetahui apa yang akan terjadi
kedepannya dan bagaimana memecahkan masalah itu bila menimpa pada anda.
Allah SWT memberikan tanggung jawab kepada laki-laki untuk memberikan nafkah kepada keluarganya.
Ia berperan sebagai tulang punggung keluarga, yang seharusnya bekerja untuk mendapatkan penghasilan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Banyak kita temukan laki-laki lebih sering berdiam diri di rumah dibandingkan keluar untuk bekerja. Bahkan yang terlihat itu sebaliknya.
Banyak wanita yang keluar rumah untuk bekerja, memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Dan banyak pula, wanita yang bekerja padahal suami juga telah bekerja.
Bekerjanya seorang wanita terkadang memang benar-benar suatu kebutuhan. Misalnya wanita itulah yang menanggung dan menopang ekonomi keluarga setelah kematian suami atau ayahnya telah tua renta sehingga tak sanggup bekerja atau yang semisalnya.
Namun demikian, di sebagian negara, karena nilai-nilai masyarakatnya tidak atas dasar nilai-nilai islami, maka terpaksa istri bekerja untuk ikut menutupi kebutuhan rumah tangga bersama suaminya, bahkan seorang laki-laki tidak mau meminang kecuali kepada wanita yang telah bekerja, lebih dari itu sebagian mereka dalam akad nikahnya mensyaratkan agar calon istrinya itu bekerja.
Jika suami Anda masih mampu memberi nafkah, sebaiknya Anda tidak perlu bekerja di luar rumah. Mengapa demikian?
Dikhawatirkan dampak negatif bagi seorang wanita yang bekerja di luar rumah akan menimpa diri Anda. Dampak negatif itu di antaranya:
1. Timbulnya berbagai bentuk kemungkaran, seperti ikhtilath (pencampuran antara laki-laki dan perempuan tanpa hijab), yang berakibat saling berkenalan dan melakukan khalwat (berduaan), menggunakan wewangian untuk menarik laki-laki, memperlihatkan perhiasan kepada mereka, yang pada akhirnya bisa berlanjut jauh hingga pada perzinaan.
2. Tidak memberikan hak suami, meremehkan persoalan rumah dan melalaikan hak-hak anak.
3. Berkurangnya makna hakiki dari perasaan kepemimpinan laki-laki atas jiwa sebagian wanita.
Cobalah renungkan, seorang wanita yang membawa ijazah sama seperti ijazah suaminya bahkan terkadang ijazahnya lebih tinggi daripada ijazah suaminya (padahal ini tidak tercela), lalu dia bekerja dengan gaji yang terkadang lebih tinggi dari gaji suaminya.
Apakah wanita seperti ini akan merasa perlu sepenuhnya kepada sang suami dan akan menaatinya dengan sempurna?
Ataukah perasaan tidak butuh menyebabkan kemelut goncangnya bangunan rumah tangga secara mendasar? Kecuali wanita yang dikehendaki baik oleh Allah SWT.
4. Menambah beban fisik, tekanan jiwa dan sarah yang tidak sesuai dengan kodrat wanita.
Allah SWT memberikan tanggung jawab kepada laki-laki untuk memberikan nafkah kepada keluarganya.
Ia berperan sebagai tulang punggung keluarga, yang seharusnya bekerja untuk mendapatkan penghasilan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Banyak kita temukan laki-laki lebih sering berdiam diri di rumah dibandingkan keluar untuk bekerja. Bahkan yang terlihat itu sebaliknya.
Banyak wanita yang keluar rumah untuk bekerja, memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Dan banyak pula, wanita yang bekerja padahal suami juga telah bekerja.
Bekerjanya seorang wanita terkadang memang benar-benar suatu kebutuhan. Misalnya wanita itulah yang menanggung dan menopang ekonomi keluarga setelah kematian suami atau ayahnya telah tua renta sehingga tak sanggup bekerja atau yang semisalnya.
Namun demikian, di sebagian negara, karena nilai-nilai masyarakatnya tidak atas dasar nilai-nilai islami, maka terpaksa istri bekerja untuk ikut menutupi kebutuhan rumah tangga bersama suaminya, bahkan seorang laki-laki tidak mau meminang kecuali kepada wanita yang telah bekerja, lebih dari itu sebagian mereka dalam akad nikahnya mensyaratkan agar calon istrinya itu bekerja.
Jika suami Anda masih mampu memberi nafkah, sebaiknya Anda tidak perlu bekerja di luar rumah. Mengapa demikian?
Dikhawatirkan dampak negatif bagi seorang wanita yang bekerja di luar rumah akan menimpa diri Anda. Dampak negatif itu di antaranya:
1. Timbulnya berbagai bentuk kemungkaran, seperti ikhtilath (pencampuran antara laki-laki dan perempuan tanpa hijab), yang berakibat saling berkenalan dan melakukan khalwat (berduaan), menggunakan wewangian untuk menarik laki-laki, memperlihatkan perhiasan kepada mereka, yang pada akhirnya bisa berlanjut jauh hingga pada perzinaan.
2. Tidak memberikan hak suami, meremehkan persoalan rumah dan melalaikan hak-hak anak.
3. Berkurangnya makna hakiki dari perasaan kepemimpinan laki-laki atas jiwa sebagian wanita.
Cobalah renungkan, seorang wanita yang membawa ijazah sama seperti ijazah suaminya bahkan terkadang ijazahnya lebih tinggi daripada ijazah suaminya (padahal ini tidak tercela), lalu dia bekerja dengan gaji yang terkadang lebih tinggi dari gaji suaminya.
Apakah wanita seperti ini akan merasa perlu sepenuhnya kepada sang suami dan akan menaatinya dengan sempurna?
Ataukah perasaan tidak butuh menyebabkan kemelut goncangnya bangunan rumah tangga secara mendasar? Kecuali wanita yang dikehendaki baik oleh Allah SWT.
4. Menambah beban fisik, tekanan jiwa dan sarah yang tidak sesuai dengan kodrat wanita.
Bagaimana Aturan Islam Bila Wanita Harus Keluar Rumah?
Jika wanita mesti keluar rumah untuk bekerja, maka hal-hal berikut yang mesti diperhatikan:- Mendapatkan izin dari walinya
- Berpakaian secara syar’i
- Aman dari fitnah
- Adanya mahram ketika melakukan safar
- Pekerjaan yang Cocok bagi Muslimah
Beberapa pekerjaan yang diperbolehkan bagi wanita, selama syarat-syarat di atas terpenuhi, diantaranya adalah:
- Dokter, perawat, bidan, dan pekerjaan di bidang pelayanan medis lainnya, misalnya bekam, apoteker, pekerja laboratorium.
- Dokter wanita menangani pasien wanita, anak-anak, dan juga lelaki dewasa. Untuk menangani lelaki dewasa, maka syaratnya adalah dalam keadaan darurat, misalnya saat peperangan, di mana laki-laki lain sibuk berperang, dan juga ketika dokter spesialis laki-laki tidak ditemui di negeri tersebut.Salah satu dalil yang membolehkannya adalah, dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dia berkata: “Dahulu, kami ikut bersama Nabi. Kami memberi minum dan mengobati yang terluka, serta memulangkan jasad (kaum muslimin) yang tewas ke Madinah.” [Al-Bukhari dalam Shahihnya (no 2882), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Mudaawatun Nisaa’ al-Jarhaa fil Ghazwi”]Dalil lainnya adalah, dari Anas, dia berkata: “Dahulu, apabila Rasulullah pergi berperang, beliau membawa Ummu Sulaim dan beberapa orang wanita Anshar bersamanya. Mereka menuangkan air dan mengobati yang terluka.” [Muslim, ash-Shahiih (no. 181), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Ghazwun Nisaa’ ma’ar Rijaal”]Imam Nawawi menjelaskan hadits di atas, tentang kebolehan wanita memberikan pengobatan hanya kepada mahram dan suami mereka saja. Adapun untuk orang lain, pengobatan dilakukan dengan tidak menyentuh kulit, kecuali pada bagian yang dibutuhkan saja.
- Di bidang ketentaraan dan kepolisian, hanya dibatasi pada pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum wanita, seperti memenjarakan wanita, petugas penggeledah wanita misalnya di daerah perbatasan dan bandara.
- Di bidang pengajaran (ta’lim), dibolehkan bagi wanita mengajar wanita dewasa dan remaja putri. Untuk mengajar kaum pria, boleh apabila diperlukan, selama tetap menjaga adab-adab, seperti menggunakan hijab dan menjaga suara.
- Menenun dan menjahit, tentu ini adalah perkerjaan yang dibolehkan dan sangat sesuai dengan fitrah wanita.
- Di bidang pertanian, dibolehkan wanita menanam, menyemai benih, membajak tanah, memanen, dsb.
- Di bidang perniagaan, dibolehkan wanita untuk melakukan jual beli. Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa salah satu tanda kiamat adalah maraknya perniagaan hingga kaum wanita membantu suaminya berdagang . Hadits ini tidaklah mengharamkan aktivitas wanita dalam aktivitas perniagaan.
- Menyembelih dan memotong daging. Meskipun ada pendapat yang membolehkan pekerjaan ini bagi wanita, namun hakikatnya tidak sesuai dengan tabiat wanita karena membuat anggota tubuhnya tersingkap saat bekerja, seperti lengan, dan kaki.
- Tata rias kecantikan. Tentu saja hal ini diperbolehkan dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang dilarang, seperti menyambung rambut, mengikir gigi, menato badan, mencabut alis, juga dilarang pula melihat aurat wanita yang diharamkan. Dilarang menggunakan benda-benda yang membahayakan tubuh, serta haram menceritakan kecantikan wanita yang diriasnya kepada laki-laki lain, termasuk suami si perias sendiri.
Sebaik-Baik Tempat Wanita Adalah Rumah
Dari ulasan di atas, tetaplah sebaik-baik tempat wanita adalah di rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Yang dimaksud dengan ayat ini adalah hendaklah wanita berdiam di rumahnya dan tidak keluar kecuali jika ada kebutuhan.
Sehingga jika ada pekerjaan bagi wanita yang bisa dikerjakan di rumah, itu tentu lebih layak dan lebih baik. Dan perlu ditekankan kewajiban mencari nafkah bukanlah jadi tuntutan bagi wanita. Namun prialah yang diharuskan demikian. Inilah yang Allah perintahkan,
Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ
وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
loading...